Resensi
SURI
TELADAN
Dahlan & KH. Hasyim Asy’ari Teladan-teladan
Kemuliaan Hidup
Penulis
: M. Sanusi
Penerbit
: Diva Press
Tahun Terbit
: 2013
Tebal Buku
: 306 halaman
M. Sanusi lahir di Sumenep pada 28 Januari 1986. Ia
menjalani pendidikan dasar dan menengah pertama di MI dan MTS Al-Huda, Desa
Gapura Timur, Gapura, Sumenep dan pendidikan menengah atasnya diselesaikan di
MA 1 Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura. Penulis buku ini mulai menulis ke
media berupa artikel dan resensi buku sejak tahun 2005, yang telah
dipublikasikan di harian lokal mauun nasional.
Buku buah karya terbaru M. Sanusi yang berjudul “Kebiasaan-kebiasaan Inspiratif KH. Ahmad Dahlan &
KH. Hasyim Asy’ari Teladan-teladan Kemuliaan Hidup”
ini mengisahkan biografi
tokoh pergerakan nasional, pendiri dua organisasi besar di Indonesia yang nyata
bukti kehadirannya untuk umat dan tetap lestari sampai saat ini. Siapa yang tak
kenal dengan Ahmad Dahlan, tokoh pendiri organisasi kemasyarakatan yang diberi
nama Muhammadiyah. Seorang ulama yang berkepribadian mulia, bersahaja,
berpandangan luas, dan moderat. Keistimewaan yang ada pada KH. Ahmad Dahlan
ternyata sudah diprediksi oleh orang tuanya sejak ia baru lahir, beliau lahir
bersamaan dengan gempa bumi yang dahsyat, konon menurut orang Jawa bayi
yanglahir bersamaan dengan lindu gedhe atau
gempa bumi, kelak ketika dewasa akan memiliki pengaruh yang besar.
KH. Ahmad Dahlan terlahir dengan nama kecil Muhammad
Darwis, kebiasaan orang dahulu ketika sudah menunaikan ibadah Haji akan
mengganti namanya dengan nama yang lebih baik. Darwis kecil terlahir dari
keluarga pembesar Keraton Yogyakarta, ayahnya KH. Abubakar adalah seorang
penghulu di Keraton Yogyakarta. Muhammad Darwis biasa hidup di lingkungan yang
terpandang dan terdidik, meski demikian hal tersebut tidak membuat dirinya
menjadi sosok yang eksklusif, ia senang bermain bersama anak-anak sebayanya.
Bermain adalah hal yang dianggap penting oleh Darwis kecil, sebab dengan
bermain ia akan lebih akrab dengan teman-teman sebayanya. Hingga ketika ia
telah bermetamorfosa menjadi KH. Ahmad Dahlan cukup terampil dalam bersosial
dengan masyarakat di kalangan apapun.
Pemikiran moderat KH. Ahmad Dahlan sudah muncul sejak
ia masih berusia belia. Suatu ketika ayah Pono teman bermain Darwis meninggal,
ia merasa prihatin ketika tidak sengaja mendengar bahwa keluarga kawannya itu
harus berhutang untuk peringatan tujuh hari kematian ayahnya. Ia merasa ada
kejanggalan dalam tradisi tersebut, orang sudah susah semakin ditambah susah. Bahkan
Dahlan kecil sering berbuat nakal dengan mengambil sesajen yang dipersembahkan
oleh penduduk pada benda-benda yang dianggap keramat, dan memberikannya kepada
fakir miskin. Pemikiran moderat pada diri Ahmad Dahlan cukup terlihat dari
caranya menyampaikan ilmu, ia tak begitu mempermasalahkan dalam menggunakan
peralatan-peralatan yang dianggap kafir pada zamannya.
Pribadi yang tidak kalah inspiratif adalah KH. Hasyim Asy’ari, tokoh pendiri organisasi
Nahdlatul Ulama yang terkenal dengan karisma dan citra diri baiknya. Keistimewaannya sudah
muncul saat beliau masih anak-anak, Hasyim kecil selalu bersikap sportif dalam
bermain, ia sangat taat dan menghormati
gurunya, karena memang beliau adalah pribadi yang haus ilmu, sehingga
menuntunnya untuk menghormati semua yang menjadi sumber ilmu, bahkan buku yang
merupakan benda mati pun diperlakukan dengan baik, karena buku merupakan sumber
ilmu. Saat Hasyim Asy’ari masih kanak-kanak beliau sangat dermawan kepada
kawan-kawannya, sering kali teman-temannya diajak untuk makan bersama di
rumahnya. Hingga suatu ketika Kiai Asy’ari ayah Hasyim membelikan putranya baju baru untuk menyambut Idhul
Fitri, saat hari raya tiba Kiai Asy’ari mencari baju tersebut, dan tidak
ditemukan. Saat Hasyim dan kawan-kawannya datang berduyun-duyun untuk
sungkeman, ayah
Hasyim terbelalak melihat baju yang ia belikan untuk anaknya dipakai oleh salah
seorang anak kampung yang paling tidak mampu. Atas peristiwa itu Kiai Asy’ari tidak
jadi bertanya, juga tidak marah kepada Hasyim, beliau justru bersyukur atas
sikap anaknya. Selain kemuliaan yang disebutkan di atas KH. Hasyim Asy’ari juga
seorang yang gentleman ketika berbuat kesalahan, dengan
rendah hati mau mengakui.
Buku ini layak dibaca oleh semua kalangan, baik dari
usia anak-anak, remaja, maupun dewasa, karena murni berisi tentang pribadi
mulia tokoh yang sesuai untuk dijadikan sebagai suri tauladan. Terlebih kedua
tokoh ini adalah putra bangsa Indonesia asli, yang sikap-sikapnya berdasarkan
etika dan moral yang memang wajar dan luhur dalam kehidupan sosial budaya
Indonesia, tanpa ada unsur-unsur yang bersifat tabu. Gaya bahasa yang sederhana, dengan kosa
kata-kosa kata popular, menjadikan pembaca dapat memahami seluruh pesan yang
disampaikan penulis, meski tanpa skemata yang cukup luas. Penulis juga mampu
mengungkapkan fakta menarik dari kisah persahabatan antara KH. Ahmad Dahlan dan
KH. Hasyim Asy’ari, yang ditulis tanpa unsur subjektifitas dan keberpihakan terhadap salah satu tokoh. Hal tersebut
secara tidak langsung membangkitkan semangat kerukunan dan toleransi terhadap
perbedaan pola pikir umat Islam di Indonesia.
Ada pribahasa yang menyebutkan “tak ada gading yang
tak retak” yang memberikan pengertian bahwa segala sesuatu yang ada di dunia
ini tidak ada yang sempurna, begitu pula dengan buku karya M Sanusi ini. Buku
ini disusun dengan kesan terlalu apa adanya, datar, dan tanpa cirri khas dari
penulisnya. Hanya semacam sekumpulan data yang dibukukan. Buku ini seharusnya
dibuat lebih menarik dengan disertai ilustrasi-ilustrasi yang mendukung
tulisan, dan juga disusun dengan bahasa-bahasa yang membuat pembaca merasa
penasaran untuk membaca isi buku secara keseluruhan.
Komentar
Posting Komentar